Bagaimanakah Hukum Menikahi Wanita Hamil?

Persoalan

Saat ini sudah tersebar seruan dan fatwa di antara orang-orang yang memperbolehkan menikahi wanita hamil yang belum menikah, baik untuk lelaki yang menghamilinya maupun yang bukan.

Penanya menekankan, “Pembahsan ini sudah tersebar luas.” Dia berharap bahwa Syaikh dapat meluruskannya, memperingatkan masyarakat akan bahayanya dan menjelaskan hukum syariat yang berkaitan dengan hal tersebut. Jazakumullah khairan.

Disampaikan oleh Yusuf Omar Ali As Shamaly

Jawaban

Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah menjawab:

Wanita yang sedang hamil baik dari hubungan yang halal maupun bukan (hubungan zina) tidak boleh dinikahi sampai dia suci atau sampai dia melahirkan kandungannya. Hal tersebut berlandaskan firman Allah azza wa jalla:

وَأُوْلاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. “ (QS. At-Thalaq: 4)

Dan Hadist Nabi shallallahu alaihi wasallam yang melarang kita:

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر، فلا يسقي ماءه زرع غيره

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia menuangkan air maninya pada tanaman orang lain.” (HR. Ahmad)

Yang dimaksud tanaman orang lain adalah janin yang disebabkan air mani orang lain.

Jika wanita tersebut hamil disebabkan suami yang menceraikanya atau karena ditinggal mati oleh suaminya maka dia tidak boleh menikah sampai dia melahirkan. Dan jika wanita tersebut hamil karena berzina, maka wanita tersebut tidak boleh menikah, baik dengan laki-laki pasangan zinanya atau dengan lainnya, hingga melahirkan.

Karena kehamilannya tercampur oleh air mani yang tidak dinisbatkan kepada laki-laki yang berzina dengannya maupun laki-laki selainnya, akan tetapi dinisbatkan kepada ibunya. Laki-laki yang berzina tidak bisa dinisbatkan kepadanya anak hasil perzinaannya.

Sebagaimana sabda Nabi sallalahu alaihi wasallam,

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

“Anak itu dinasabkan kepada pemilik ranjang yang sah (suami), dan untuk pezina kerugian” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Seorang anak dinisbatkan kepada ibunya jika ibunya tidak lagi bersama bapaknya (cerai-pent). Dan kalau masih bersama, maka sang anak dinisbatkan kepada suami si ibu (Bapaknya-pent). Sedangkan Laki-laki pezina mendapat hukuman syariat.

Jikalau sang wanita sedang hamil dan dia belum menikah, maka wanita tersebut tidak boleh dinikahi secara mutlak di manapun sampai dia melahirkan. Setelah dia melahirkan, maka baru diperbolehkan bagi wanita tersebut untuk menikah setelah bertaubat, kembali kepada Allah. Diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menikahinya setelah wanita tadi bertaubat.

Sumber: diterjemahkan oleh Refanza dari situs https://binbaz.org.sa/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *