Hakikat Niat

Oleh : Fikri Lubab

Niat merupakan salah satu pondasi jiwa seseorang, apabila baik niat seseorang dan diiringi dengan rasa ikhlas kepada Allah, maka baik pula amalan yang dia kerjakan. Dan sebaliknya apabila seseorang meniatkan sesuatu akan tetapi niat tersebut tidak dibarengi dengan rasa ikhlas, hanya berharap untuk mendapatkan sanjungan, pujian dari seseorang maka telah cukup baginya mendapatkan kesia-siaan yang dia dapatkan di dunia maupun di akhirat kelak.

Di jelaskan oleh para ulama tentang hakekat niat, diantaranya ialah yang dicantumkan di dalam kitab “Tazkiyatun Nufus“.

Hakekat niat ialah bukanlah seseorang mengucapkan sesuatu yang keluar dari kedua bibirnya (seperti perkataan, ”Nawaitu : saya berniat…”), akan tetapi yang menjadi sebuah hakekat niat ialah dorongan hati yang senantiasa mengalir seiring dengan ketaatan kepada Allah. Barangsiapa yang hatinya terdominasi dengan perkara agama, maka dia akan dimudahkan untuk merealisasikan niatnya untuk beramal sholeh. Sesungguhnya hati seperti inilah yang akan condong untuk berbuat kebaikan, karena hati tersebut terdorong kepada amalan-amalan sholeh. Akan tetapi sebaliknya, barangsiapa yang hatinya condong kepada perkara duniawi saja, maka dia tidak akan merasakan kemudahan dalam melaksanakan amalan tersebut bahkan untuk sekedar melaksanakan kewajiban yang telah Allah tetapkan pun dia akan kesulitan, kecuali dengan usaha yang sangat keras.

Sebagaimana yang di sabdakan oleh Nabi –shalallahu ‘alahi wa sallam– yang diriwayatkan dari jalan Umar bin Khattab :

عَنْ أَمِيْرِ اْلُمْؤمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللِه يَقُُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالِّنيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِِلىَ اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ

إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dari Amiril mukminin Abi Hafsoh Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu- dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “ Sesungguhnya segala amal pekerjaan itu [diterima atau tidaknya di sisi Allah] hanyalah tergantung kepada niatnya, dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang telah diniatkannya, maka barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang berhijrah untuk mendapatkan dunia atau seorang wanita yang akan dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan. (HR. Muttafaq ‘alaih)

Diriwayatkan dari imam Syafi’ beliau berkata, “Hadis ini menempati sepertiga ilmu“.

Beliau melanjutkan kembali tentang kandungan hadist di atas dengan mengatakan :

“Sesungguhnya segala amal pekerjaan itu hanyalah tergantung kepada niatnya” yaitu bahwa amalan yang diterima oleh Allah ialah amalan-amalan yang pernah di contohkan oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-, dengan syarat baik pula niatnya. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- :

“Sesungguhnya segala amal pekerjaan itu [diterima atau tidaknya di sisi Allah] hanyalah tergantung kepada amalan yang terahir ia kerjakan.”  (HR. Bukhori)

Adapun sabda beliau “dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang telah diniatkannya” maksudnya, bahwa setiap pahala yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya tergantung bagaimana hamba tersebut dalam meniatkan amal sholeh yang dia gabungkan dalam satu amalan.

Harus kita pahami, bahwa niat yang baik tidak bisa dipengaruhi oleh kemaksiatan. Dan tidak semestinya bagi seseorang yang masih awam untuk memahami hadis tersebut secara global saja. Bisa saja terbetik di dalam hati mereka, bahwa kemaksiatan akan menjadi sesuatu yang terpuji ketika dibarengi niat yang baik. Ini adalah persepsi salah yang harus di jauhi oleh masing-masing dari kita.

Harus kita pahami bersama, bahwa kesempurnaan ketaatan kepada Allah dan besarnya pahalanya mempunyai ikatan erat dengan niat. Pada hakekatnya, seseorang yang ingin beramal kebaikan, hendaknya ia mengharapkan pahala dari Allah –subhanahu wa ta’ala– semata. Maka, apabila seseorang meniatkan suatu amalan, dia niatkan untuk Riya’, maka amalan tersebut akan berubah menjadi sebuah kemaksiatan, padahal amalan tersebut dipandang sebagai amalan yang terpuji.

Niat menurut para salaf

1.      Umar bin Khattab pernah berkata, “Amalan yang paling sempurna ialah dengan melakukan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah -subhanahu wa ta’ala-, dan waro’ (hati-hati) terhadap segala yang di larang atau di haramkan oleh Allah -subhanahu wa ta’ala-, serta jujur dalam berniat maupun dalam beribadah kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-”.

2.      Dikatakan oleh sebagian orang salaf, “Sungguh sesuatu yang bernilai kecil, akan menjadi besar nilainya jika dibarengi dengan niat yang baik. Dan begitu pula sebaliknya, sesuatu yang nilainya besar, akan menjadi kecil, itu semua tergantung pada niatnya”.

3.      Yahya bin Abi Katsir pernah berkata, “Pelajarilah sebuah niat, karena niat tersebut lebih sulit apabila dibandingkan dengan amalan yang dia niatkan”.

 

(Oleh Fikri Lubab alumni PIA ke 19 (2010), diedit oleh Ujang Pramudhiartho, Lc)

Satu komentar

  1. niat memang mesti diluruskan lagi anmun selalu jadi perdebatan hangat setiap ada tulisan seperti ini mengenai dilisankan atau tidak

Tinggalkan Balasan ke islam di dadaku Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *