Majelis Ramadhan Ke-3: Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Puasa

MAJALIS RAMADHANIYYAH

Karya: Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Kus (dengan sedikit perubahan)

MAJELIS KE-2

HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN PUASA

A. Seputar masalah Niat

Seharusnya bagi setiap Muslim untuk meniatkan puasa yang wajib pada malam harinya sebelum terbit fajar jika masuknya bulan ramadhan telah dipastikan, baik melalui rukyah hilal (melihat bulan sabit) maupun pengumuman dari pihak pemerintah. Hal ini berdasarkan firman Allah -ta’ala-:

وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka beribadah kepada Allah dengan ikhlas..” (Al-Bayyinah: 5). Sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-:

إنما الأعمال بالنيات, وإنما لكل امرئ ما نوى

“Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR Al-Bukhori 9/1 Muslim 1907). Beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- juga menyampaikan:

من لم يبيت الصيام من الليل فلا صيام له

“Barang siapa yang belum meniatkan puasa pada malam harinya, maka tiada puasa baginya.” (HR An-Nasai dan Al-Baihaqi/hadits shahih). Serta sabda nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-:

من لم يجمع الصيام قبل الفجر فلا صيام له

“Barang siapa yang belum meniatkan puasa sebelum terbitnya fajar maka tiada puasa baginya.” (HR Abu Daud 122/7, Ibnu Khuzaimah 1933 dan An-Nasai 196/4 hadits shahih)

Dalil-dalil ini menerangkan bahwasanya puasa harus disertai dengan niat sebagaimana ibadah-ibadah yang lainnya, seperti yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah merahmatinya-: “Telah menjadi kesepakatan di kalangan para ulama bahwa seluruh ibadah murni seperti sholat, puasa, dan haji tidak akan sah kecuali dengan adanya niat.”

Letaknya niat adalah di dalam hati dan tidak boleh melafadzkannya, karena itu merupakan perbuatan yang tidak ada contohnya dari Nabi. Siapa saja yang terbesit dalam pikirannnya bahwasanya ia akan berpuasa esok hari, maka sesungguhnya ia telah berniat. Begitu pula halnya orang yang sahur untuk berpuasa, ini merupakan salah satu tanda ia akan berpuasa. Niat merupakan pembeda antara ibadah dan adat.

Meniatkan puasa pada malam hari dikhususkan untuk puasa fardhu. Adapun puasa sunnah maka boleh meniatkannnya pada siang hari. Hal ini karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah mendatangi Aisyah -semoga Allah meridhainya- diluar Ramadhan, beliau berkata:

هل عندكم غداء ؟ وإلا فإني صائم

“Apakah kalian memiliki makan siang? Jika tidak ada maka saya akan berpuasa.” (HR Muslim 1154).

B. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa

Menahan ini dimulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Berdasarkan firman Allah -ta’ala-:

فالآن باشروهن وابتغوا ما كتب الله لكم وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلي الليل

“Maka sekarang pergauilah istri-istrimu dan carilah apa yang telah Allah tetapkan bagimu, makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam ketika fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) waktu malam.”(Al-Baqarah :187)

Allah membolehkan makan dan minum sampai terbit fajar yang kedua (fajar shadiq), kemudian memerintahkan untuk menyempurnakan puasa sampai datangnya malam. Yang dimaksud dengan makan dan minum disini mencakup makan dan minum lewat mulut maupun hidung. Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون صائماً

“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (menghirup air dengan hidung ketika wudhu) kecuali engkau sedang berpuasa.” (Shahih Abu Daud oleh Al-Albani 450/2)

Seharusnya setiap Muslim mengetahui bahwasanya fajar itu ada 2 macam: fajar shadiq dan fajar kadzib. Fajar shadiq adalah fajar yang apabila terbit maka seseorang tidak boleh lagi makan minum dan dia harus menahan dirinya dari hal-hal yang membatalkan puasa. Fajar kadzib adalah : rona putih di langit yang memanjang dan terbentang. Adapun fajar shadiq berwarna merah berbentuk garis dan membentang di puncak-puncak pegunungan serta tersebar ke jalan-jalan, gang-gang dan rumah-rumah. Dari Samuroh -semoga Allah meridhainya- berkata, bersabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-:

لا يغرنكم آذان بلال ولا هذا البياض لعمود الصبح حتى يستطير

“Janganlah kalian tertipu dengan adzan Bilal dan rona putih ini untuk menandakan pagi sampai rona itu memanjang.” (HR Muslim 1094)

Jika telah jelas hal tersebut, maka seorang Muslim harus menahan diri dari makan dan minum. Jika ia memegang gelas berisi air, maka boleh baginya untuk meminumnya karena itu adalah keringanan dari Allah, sekalipun ia telah mendengar adzan. Hal tersebut berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-:

إذا سمع أحدكم النداء والإناء على يده فلا يضعه حتى يقضي حاجته منه

“Jika salah seorang diantara kalian mendengar adzan, sedangkan bejana masih berada di tangannya, maka janganlah ia letakkan sampai ia menyelesaikan hajatnya.” (Shahih Abu Daud oleh Al-Albani 447/ 2 dan diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Ahmad). Yang dimaksudkan dengan adzan di sini adalah adzan yang kedua pertanda fajar shadiq dengan dalil tambahan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Jarir yang berbunyi:

وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر

“Muadzzin mengumandangkan adzan ketika terbit fajar”.

C. Bid’ah Imsakiyyah

Ketahuilah wahai Muslim, bahwasanya apa yang dikenal dengan imsak (sekarang ini) adalah antisipasi sekitar seperempat jam sebelum adzan, hal ini merupakan bid’ah yang tidak ada contohnya dan tuntunannya dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Al-Hafidz Ibnu Hajar telah mewanti-wanti akan hal ini dalam Al-Fath(199/4).

Bid’ah Imsakiyyah ini telah tersebar pada masa kita sekarang, maka sepatutnya bagi para ormas, yayasan dan perkumpulan untuk memberikan peringatan akan kekeliruan ini serta tidak menyebarkan bid’ah imsakiyyah ini karena hal itu tidak ada dalilnya dalam agama Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *